Nama
Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut
ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa
Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin
menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang
menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau
Pajajaran).
Peristiwa
ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari
kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan
Sungai Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur
wilayah Galuh).
Menurut
sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
- · Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
- · Galuh Pakuan beribukota di Kawali - Ciamis
- · Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
- · Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
- · Galuh Kalangon berlokasi di Alas Roban beribukota Medang Pangramesan
- · Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
- · Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
- · Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
- · Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
- · Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan
Tarusbawa
bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang
termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M
karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke
Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya,
anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat
memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin
Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati
kerajaan, yaitu Balangantrang.
Sanjaya
yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja
Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh
disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu
Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama
alias Manarah.
Premana
Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh
kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi
karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman.
Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan
politik.
Di
tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara
putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan
Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru
Demunawan.
Premana
akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang
merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan
Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan
menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh
itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang
dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal
sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah
Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga
dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi
pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah
menyerah.
Perang
saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah
ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap,
perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh
diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik
terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu
belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan
Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda
yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi
pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah
dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M
kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja
baru yang pindah tempat.
Dari
segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di
kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun
temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.
Hingga
pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur
ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci
sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan
Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya,
lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat
tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa
Timur.
Kelak
Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan
Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat
itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka
Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat
keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Menurut
Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut, dikutip dari
Jawa Palace:
Tersebut
negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh
rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana,
tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh
Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi
sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang
kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian..? Ternyata
belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang
bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam
pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan
cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah
arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh
Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa
menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar
bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik
rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah
selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda
tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di
kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang
sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan
punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan
darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak
akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap
berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh
hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari
kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang
berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap
putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak
kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog
antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling
ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara
keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena
bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang
mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat
menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian
inti Kidung.
Sunda-Galuh
kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa
puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga
Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga
disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.
Menurut
sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut,
Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan
antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor /
tahun).
Selain
tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan Islam
Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-Galuh
Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan
hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran.
Setelah
Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar kerajaan-kerajaan kecil di bawah
kekuasaan Pajajaran mulai bangkit dan berdiri-sendiri, salah satunya adalah
Kerajaan Sumedang Larang (ibukotanya kini menjadi Kota Sumedang). Kerajaan
Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan kembali ke Pakuan Pajajaran,
Bogor.
Kerajaan
Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang
sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam), militer dan politik
pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata / Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa
naik tahta. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun
1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah
Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.
Sultan
Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk memimpin
penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara diserahkan
kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten
datang menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang
diberangkatkan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu
menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini
membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan
pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati
Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk
menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada
akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan
segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari
pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas
informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Setelah
habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk
memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh
(Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin
oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh Tanubaya
dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung Wiradegdaha atau
R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak” karena memiliki anak yang
sangat banyak.
Selanjutnya
Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar
Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur, keturunan
Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain
itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan
Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III
kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi
Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa, karawaan.
Sultan
Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati
Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati
Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang
Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta
putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda Iantara Tahun
1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang.
Jadi
nama jalan Sawunggaling, Mundinglaya, Ranggagading, Ranggamalela, Suryakancana,
Ariajipang, Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga dan Bagusrangin kalau
tidak salah adalah tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Lutung Kasarung.
Demikian asal usul nama Sunda yang saya peroleh dari artikel2 blog lain, yang saya postingkan kembali di sini, mohon ma'af jika ada kekurangan atau kesalahan dalam pengeditannya...
Bagaimana pelestarian kerajaan2 di tanah sunda? Apakah para ahli waris msh ada? Kalau msh ada, siapakah ahli warisnya sekarang? Krn mengingat kerajaan2 lain di Nusantara msh banyak yg mempertahankan tradisi dan silsilahnya, bahkan ada yg dibangkitkan kembali. Semoga adat dan warisan kerajaan2 sunda bisa bangkit kembali. Terima kasih.
ReplyDelete