Sebagaimana halnya dengan Prabu
Siliwangi, Kian Santang (Ki Hyang Sancang) merupakan salah satu tokoh yang
dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia
persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan,
sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam
tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung.
Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam
di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa
versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang
meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah
yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu
pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam
mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak
sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai
tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda
sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam
Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal
yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya,
bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh
mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat
sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang
tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1)
cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P.
de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat
beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang,
dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina
Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh
Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya,
dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk
Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji
Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan
menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak
pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton
dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran,
bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut
terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang
sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur
cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran
runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi
dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya
dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang
meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu
atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya,
maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu
adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia
Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di
atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran
Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang
penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti
fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin
(pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah
tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada
di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang
disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan)
dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang
menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama
menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1)
Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4)
Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau
Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan
Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat
tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra
Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar
agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang
disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13,
kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing
diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih
(Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata
alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah
kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu
dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren
inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang
kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara
Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka
jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di
tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam
pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga
Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari
wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi
raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah
Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat
penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan).
Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang
menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang
mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di
Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah
(1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan
cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu
Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian
Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar
dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat
Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi
kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal
lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah
(1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat
makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan
Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak
oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah
selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu
Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi
seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak,
Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul
Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama
dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad
di Cangkuang (Garut).
No comments:
Post a Comment