Seperti telah diuraikan dalam
cerita sebelumnya, bahwa ketika
selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya
(Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan
al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul
Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah
Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau
raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat
Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw.
Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah
Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa
dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang
melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir
di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru
agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada
Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut
terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama
dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua
orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di
Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk
kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri
untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah
selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia
mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati
Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun
sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua
tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten
ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh
Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif
Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran
Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh
dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari
Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu
Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif
Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak
lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah
giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh
(puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan
pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan
Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda)
dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda,
puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali
Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda
yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di
Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja
(lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran
Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai
penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon
yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu,
sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih
kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak
berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari
para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi
pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada
dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran
Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M,
Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk
selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.
Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan
Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara
resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya
ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang
perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis
itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut
merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan
bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan
diplomatik dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara
Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak
dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak
mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama
menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan
Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki
pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke
Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali
Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh
pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada
Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril,
dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari
Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif
Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun
(Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif
Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17).
Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting
di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif
Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat
menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu
terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif
Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad
Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara
dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di
Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus
Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten.
Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama,
yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M.
Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di
Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
No comments:
Post a Comment